Pada suatu waktu saya mendengar nasyid yang didendangkan oleh tim nasyid Suara Persaudaraan. Ada sepenggal syair yang membuat saya bagaikan batere lithium yang sedang di charge sehingga membuat daya tahan Hand Phone menjadi lebih kuat dan siap untuk digunakan kembali. Begitu juga hati saya seakan seperti discharge sehingga saya berhenti di terminal ruhiyah untuk kemudian berjalan menuju satu tujuan yaitu ridha Ilahi.
Penggalan syairnya kurang lebih sebagai berikut:
“ Berbekallah untuk hari yang sudah pasti
Sungguh kematian adalah muara manusia
…….
Rasulullah bersabda , perbanyaklah mengingat
Akan pemusnah segala kenikmatan dunia
Itulah kematian
Yang kan pasti datang
……. “
Di sebuah training kerohanian untuk ekskutif yang diadakan oleh sebuah perusahaan besar, sang mentor mengisahkan tentang kekuasaan Allah dalam mencipta dunia serta segala isinya. Diceritakan pula alam barzakh dan padang masyhar serta kehidupan akhirat tempat kembali kita, dilakukan pula muhasabah mengingat dosa yang telah dilakukan. Hal ini membuat para eksekutif berlinangan air mata. Mereka keluar dari acara tersebut dengan tekad memperbaiki diri.
Seiring dengan berjalannya waktu, bergulirnya siang malam, hari berganti hari, dari bulan ke bulan, para eksekutifpun larut kembali kepada kehidupan dunianya yang selalu dikejar target agar bisa mencapai apa yang diimpikannya entah itu jabatan, harta kekayaan dan tujuan lainnya. Kesadaran mereka untuk mempersiapkan hidup di kampong akhiratpun hilang tak berbekas.
Memang kesadaran kondisional dan temporary ini mudah diciptakan. Bahkan seorang supir angkotpun bisa menumbuhkan kesadaran kondisional ini. Tak percaya? Coba saja supir itu menginjak pedal gas lebih dalam di jalan raya yang agak padat dan berjalan zigzag serta memotong jalur, Insya Allah semua penumpang akan ingat ingat Allah, minimal istighfar. Saya yakin ada yang bersiap siap untuk mati dengan berkata,” mati aku, kok supir ugal-ugalan kayak begini, Astaghfirullah….”. Kesimpulannya tidak hanya ustadz, semua orang bisa menumbuhkan kesadaran kondisional dan temporary seperti ini.
Untuk menanamkan kesadaran yang hakiki, banyak upaya yang harus dilakukan. Rasulullah yang ma’sumpun berdo’a “Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik” yang artinya “Ya Allah bantulah aku untuk mengingat Engkau, bersyukur kepada Engkau dan beribadah yang baik kepada Engkau. Rasul juga beristighfar kurang lebih 100 kali setiap harinya. Apatah lagi kita yang setiap hari bergelimang dengan lumpur dosa dan aneka ma’siat, seharusnya mencontoh Rasul sang tauladan dalam berdo’a dan beristighfar.
Penggalan syairnya kurang lebih sebagai berikut:
“ Berbekallah untuk hari yang sudah pasti
Sungguh kematian adalah muara manusia
…….
Rasulullah bersabda , perbanyaklah mengingat
Akan pemusnah segala kenikmatan dunia
Itulah kematian
Yang kan pasti datang
……. “
Di sebuah training kerohanian untuk ekskutif yang diadakan oleh sebuah perusahaan besar, sang mentor mengisahkan tentang kekuasaan Allah dalam mencipta dunia serta segala isinya. Diceritakan pula alam barzakh dan padang masyhar serta kehidupan akhirat tempat kembali kita, dilakukan pula muhasabah mengingat dosa yang telah dilakukan. Hal ini membuat para eksekutif berlinangan air mata. Mereka keluar dari acara tersebut dengan tekad memperbaiki diri.
Seiring dengan berjalannya waktu, bergulirnya siang malam, hari berganti hari, dari bulan ke bulan, para eksekutifpun larut kembali kepada kehidupan dunianya yang selalu dikejar target agar bisa mencapai apa yang diimpikannya entah itu jabatan, harta kekayaan dan tujuan lainnya. Kesadaran mereka untuk mempersiapkan hidup di kampong akhiratpun hilang tak berbekas.
Memang kesadaran kondisional dan temporary ini mudah diciptakan. Bahkan seorang supir angkotpun bisa menumbuhkan kesadaran kondisional ini. Tak percaya? Coba saja supir itu menginjak pedal gas lebih dalam di jalan raya yang agak padat dan berjalan zigzag serta memotong jalur, Insya Allah semua penumpang akan ingat ingat Allah, minimal istighfar. Saya yakin ada yang bersiap siap untuk mati dengan berkata,” mati aku, kok supir ugal-ugalan kayak begini, Astaghfirullah….”. Kesimpulannya tidak hanya ustadz, semua orang bisa menumbuhkan kesadaran kondisional dan temporary seperti ini.
Untuk menanamkan kesadaran yang hakiki, banyak upaya yang harus dilakukan. Rasulullah yang ma’sumpun berdo’a “Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik” yang artinya “Ya Allah bantulah aku untuk mengingat Engkau, bersyukur kepada Engkau dan beribadah yang baik kepada Engkau. Rasul juga beristighfar kurang lebih 100 kali setiap harinya. Apatah lagi kita yang setiap hari bergelimang dengan lumpur dosa dan aneka ma’siat, seharusnya mencontoh Rasul sang tauladan dalam berdo’a dan beristighfar.
Selain itu adalah perlunya menuntut ilmu syar’i secara kontinyu, Insya Allah dengan seringnya qalbu kita tersiram untaian hikmah yang didapat dari majlis taklim, maka kesadaran akan adanya kehidupan abadi sesudah dunia ini akan tertanam di dalam hati kita sehingga dalam melangkah dan berbuat apapun di dunia ini selalu di dalam koridor mencari Ridha Ilahi.
written by:
Abu Afra
jumadil awwal 1426
Juni 2005