Pages

Terdiam lalu tersadar

Sejenak saya terdiam, duduk bersandarkan sajadah yang mempunyai penopang dari kayu sebagai sandaran bagi pemakainya. Terpaku merenungi satu persatu orang yang saya kenal pergi mendahului menuju panggilan Rabbnya.


Semakin terdiam karena menyadari dana marketing yang dalam masa pandemi ini tergolong besar menghilang begitu saja. 


Jika digambarkan situasinya mirip seperti ini, saya mengarungi perahu ke tengah lautan dengan bekal umpan-umpan yang cukup agar ikan-ikan tertarik masuk ke dalam perangkap sehingga dapat mudah dijaring. Umpan inilah yang digambarkan sebagai dana marketing tadi.



jaring ikan


Umpan ini saya bawa cukup banyak dengan harapan bisa menjaring lebih banyak ikan untuk dibawa pulang. 


Tapi kejadian setelahnya tidak sesuai harapan, umpan-umpan ini "dibawa lari" oleh ikan-ikan ke lautan dalam. Tinggallah saya ternganga menghadapinya.


Di dalam komunitas advertiser, kejadian ini dinamakan boncos. Di kalangan penggiat sastra kejadian ini dibahasakan dengan "kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda."


Namun saya lebih suka dengan istilah yang diungkapkan dengan teman-teman yang rajin ikut kajian. Mereka mengatakan kejadian ini sudah tertulis 50 ribu tahun lalu sebelum Allah Ta'ala menciptakan langit dan bumi. Uraian teman-teman si penjual minyak wangi.


Itulah nikmatnya berteman dengan teman "penjual minyak wangi." Kita akan ikut mencium harumnya. Itu minimal. Lebih sedikit dari tingkat minimal adalah kita bisa mencicipi testernya. Penjual minyak wangi ini adalah ibarat, ia adalah teman yang senantiasa mengajak kepada harumnya ketaatan kepada Allah, dan menasehati kita apabila kita terjatuh ke dalam busuknya maksiat kepada Allah.


Sampailah hari Jumat. Setelah mandi dan memakai wewangian Oud yang aromanya paling saya suka setelah Musk, saya pergi ke masjid.


Dan ternyata ustadz menyampaikan khutbah yang isinya sesuai dengan kondisi yang saya alami.


Alhamdulillah, setelah sempat "layu", maka semangat ini jadi "kencang" kembali. Bahkan bersiap untuk berlari. Karena bersabar itu bukan berdiam diri, namun sabar itu adalah keadaan hati yang menumbuhkan jiwa persisten agar tercipta ikhtiar yang kuat.


Hamba Allah
Di sudut rumah
yang sedang bersiap untuk berlari kembali


Kita Tidak Pernah Tahu


Masa depan adalah hal yang ghaib. Saya, anda, dan kita semua tidak pernah akan tahu seperti apa kita di masa depan. Kita hanya bisa berusaha, berencana, berdoa, namun Allah Ta'ala yang Maha Berkehendak.

Seperti halnya yang pernah saya alami. Saya pernah bersakit-sakit di sebuah kota di sebelah barat pulau Jawa demi mengejar kuliah di kampus idaman, namun akhirnya balik kembali untuk menempa hidup di pinggiran ibu kota. Dan petualanganpun dimulai, penuh lika-liku, sampai akhirnya ke detik saya menulis di blog ini sambil merenung.

Saat ini saya menemukan setitik makna tentang pengalaman hidup. Sebuah pengalaman yang membuat saya berpikir dan merenung bahwa ternyata pengalaman hidup yang kita alami, ibarat sekumpulan benang wol, sangat berguna sekali untuk merajut hidup selanjutnya.


merajut benang kehidupan



Dahulu ketika SMP entah kenapa, ayah saya ngotot mendaftarkan saya kursus bahasa Inggris di sebuah lembaga yang cukup ternama. Awalnya saya ogah-ogahan, waktu itu saya belum mengerti konsep hidup, belum memiliki visi yang jauh kedepan, pemikiran saya masih pendek, hanya memikirkan hidup untuk saat itu saja. Alhamdulillah, setelah terpaksa mengikuti les, saya bisa bertahan sampai level atas.

Waktu berlalu, saya gagal untuk meraih kampus impian dan jurusan/fakultas idaman. Nama saya tidak tercantum di koran pada hari pengumuman UMPTN. Sakit rasanya saat itu. Namun perjalanan hidup harus diteruskan, sayapun tertatih-tatih mengambil jalur alternatif. Dan akhirnya saya kembali pulang, setelah dua tahun berkelana di kota kenangan.

Akhirnya saya tinggal di kota harapan. Dan memilih jurusan yang tidak saya tengok sebelumnya saat saya SMA. Saya juga tidak tahu waktu itu, mengapa saya memilih sebuah jurusan yang tidak saya pikirkan sebelumnya yaitu teknik informatika. Entah karena di tahun 90-an hal itu sedang tren atau memang yang penting kuliah, atau sebagai pelarian. Entahlah. Pokoknya yang ada dipikiran saya adalah memulai bangkit kembali setelah meninggalkan kota kenangan menuju kota harapan.

Akhirnya saya menikmati dunia baru saya ini. Saya mengambil sertifikasi internasional dari CISCO, awalnya adalah CCNA. Entah apa yang ada dipikiran saya sewaktu mengambil test itu, entah karena gengsi (karena dalam tahun-tahun saya mengambil sertifikasi itu, pemegang sertifikat itu di Indonesia bisa dihitung dengan jari, apalagi yang tingkat lanjutan CCNP dan CCIE) atau karena hal lainnya.

Padahal sertifikasi ini tidak terpakai ketika saya bekerja di sebuah BUMN elit di Indonesia. Entah kenapa juga saya yang berulang-ulang ingin pindah unit ke bagian IP networking, namun tidak dilepas oleh management di bagian tersebut. Itu yang membuat saya tidak tahan dan ikut dalam program "golden handshaking".

Namun akhirnya saya menyadari bahwa pengalaman-pengalaman di atas ternyata adalah ibarat potongan mozaik, yang potongan itu menyatu menjadi sebuah gambar yang indah. Pengalaman-pengalaman itu menjadi modal saya untuk mendapatkan kepercayaan sebuah perusahaan pemerintahan di negeri seberang sana untuk me-manage IP networknya.


mozaik kehidupan



Semasa kuliah di kota harapan, Alhamdulillah saya dapat melahap buku-buku motivasi sehingga atas karunia Allah kemudian karena saya aktif membaca buku-buku tersebut dan berusaha mencari lingkungan baru yang inspiratif di kampus maka saya dapat bangkit dari terpuruknya gagal saat UMPTN.

Pada semester kelima, saya mencoba bersaing dengan puluhan mahasiswa lain untuk mendaftar menjadi asisten laboratorium pemrograman komputer. Alhamdulillah nama saya terpampang di kertas pengumuman yang ditempel di dinding depan lab setelah menyelesaikan serangkaian test dan interview. Itulah pengalaman mengajar saya secara formal yang pertama. Adapun secara informal, saya sering mengajarkan teman-teman sekolah dalam pelajaran yang mereka belum mengerti.

Saya aktif mengajar anak-anak tingkat satu dalam beberapa semester sebelum saya fokus kepada penyelesaian skripsi. Dengan pengalaman mengajar secara formal sewaktu kuliah, maka saya tidak berpikir panjang ketika ada tawaran dari teman untuk mengajar pengenalan komputer pada anak-anak tingkat satu pada sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi yang letaknya satu kota dimana saya tinggal. Jadwal mengajar hari jumat dan sabtu sehingga saya dapat mengatur waktu dengan pekerjaan saya di perusahaan BUMN elit.

Saya mencintai dunia anak, terutama dunia pendidikan anak. Dengan dasar itulah saya memberanikan diri untuk bertransformasi menjadi praktisi Homeschooling di negeri seberang. Sampai saat ini saya enjoy untuk melakukan aktivitas pembelajaran bersama anak.

Pengalaman-pengalaman ini jugalah yang dapat menjadi modal saya sekarang untuk aktif dan merintis tempat belajar Rumah Belajar 'Aarifa. Sebuah rumah sebagai tempat belajar bersama dengan anak-anak. Sebuah aktivitas menyenangkan yang sekarang saya geluti bersama anak-anak.

Saya membuat blog baru untuk mendokumentasikan aktivitas pembelajaran saya bersama anak-anak yaitu Blog Rumah Belajar Aarifa.

Kita tidak pernah tahu tentang masa depan, apakah aktivitas ini merupakan salah satu fondasi untuk merintis sebuah learning center di negeri awan? Ya, kita tidak pernah tahu...

Pengalaman Yang Tak Kalah Seru


Pengalaman hidup merintis (lagi) usaha di kampung halaman ternyata tak kalah seru dibandingkan pengalaman tinggal di negeri seberang sana.

Perjalanan penuh kucuran keringat, luapan jiwa, indahnya grafik sinusoidal yang kadang ke atas dan sering ke bawah menghunjam bumi melemparkan sang awak untuk kemudian memantul kembali.

Pengalaman sarat pelajaran hidup , kadang diiringi jerit tangis dikesendirian sambil mengadu kepada Rabb pengatur alam semesta, yang membuat waktu berjalan begitu cepat, yang sempat membuat aku bertanya kepada diri apakah langkah yang aku pilih ini tepat, yang membuat aku lebih bijaksana kepada teman-teman yang ingin mengambil langkah yang sama denganku dengan menasehatinya selalu shalat istikharah dan pikir dalam-dalam, setelah sebelumnya aku menjadi motivator (atau tepatnya provokator) agar teman-teman segera mengikuti jejak langkah kami yang telah dahulu memulai.

Dan banyak lagi asam-garam yang telah aku cicip sebagai konsekuensi rute perjalanan hidup yang aku ambil.

Mungkin inilah yang membuat dua tahun ini aku tidak menghampiri blog ini untuk menuliskan sebuah kisah pembelajaran di universitas kehidupan. Akhirnya pada hari ini, aku menyapa teman dekatku ini. Aku "say hello" kepadanya, berinteraksi dengannya dengan ditemani oleh segelas kopi hitam sumatra yang diberi gula sedikit sebagai hiasan pemanis.

Di blog ini, aku telah menceritakan pengalamanku sebagai profesional IT di sebuah negara di Timur Tengah, yang kata orang-orang salah satu dari negeri terkaya.


pengalaman seru



Cerita dimulai dari resign-nya aku dari perusahan yang acapkali masuk perusahaan fortune 500, entah itu sebagai perusahaan terbaik maupun perusahaan sebagai tempat idaman para pencari kerja terbaik.

Sambil menulis ini, bibir saya tak sengaja menyungging senyum dan pikiran melesat menuju kejadian lampau sewaktu teman-teman saya menyebut saya "gila" (pakai tanda kutip) karena saya ingin keluar disaat ribuan orang ingin masuk ke sana.

Singkat cerita, berlayarlah saya ke pulau seberang, sampailah saya ke negeri impian. Dimulailah pengalaman suka-duka di negeri orang.

Tibalah waktunya untuk memulai pelajaran baru. Timbullah tantangan pertama. Tantangan ini bukanlah pada kesiapan profesionalitas atau bahasa, atau pada kesiapan mental untuk beradaptasi di lingkungan baru, namun ia muncul pada rasa hampa. Iya rasa hampa akibat ketiadaan keluarga, bahkan anak ke empat kami belum genap satu tahun usianya. Seorang bayi yang sedang lucu-lucunya.

Namun, sebagai akibat dari sebuah jalan yang harus ditempuh, aku berusaha untuk tetap tegar berangkat pantang mundur menaiki pesawat yang akan terbang selama delapan jam untuk sampai ke negeri impian sana.

Walaupun aku diberi penginapan mewah oleh sponsorku di sana, lengkap dengan berbagai fasilitas yang memanjakan diri, tetap saja hati ini basah karena kecamuk rindu, ketika ingat dengan mereka di rumah sana.

Waktu-waktu pembelajaran ini, Alhamdulillah kulalui dengan perlahan tapi pasti. Grafik sinusoidal pun bergerak menuju ke atas, akhirnya semua anggota keluarga kubawa serta menemani perjalanan melewati samudra agar mereka juga belajar mengatasi terjangan ombak dan melihat indahnya sinar matahari menembus dalamnya samudra.

Setelah ini, petualangan baru dimulai. Kami semua sama-sama belajar, masing-masing mengeluarkan kemampuan yang ia bisa untuk beradaptasi.

Aku salut kepada istri, ketika di kampung halaman aktivitas sehari-hari penuh dibantu oleh asisten rumah tangga. Di sini, beliau harus melakukan semuanya. Yang paling utama adalah mengajari dan mendidik anak-anak langsung karena anak-anak kami homeschooling (atas saran dari seniorku orang Amerika namun bahasa Arabnya lebih mahir dari saya). Tak tanggung-tanggung, beliau langsung mendidik empat orang anak. Sebuah aktivitas baru yang harus dijalani setiap hari yang belum dialaminya ketika di kampung halaman.

Aku juga bersyukur dan salut kepada anak-anak. Ini kali pertama mereka traveling jauh dari kampung halamannya, mereka sampai di saat musim di pulau harapan ini musim dingin, sebuah musim yang tidak dijumpai dan dialami mereka di kampung halaman. Alhamdulillah mereka kuat.

Ini kali pertama mereka belajar langsung dengan orang-tuanya, bukan di kelas di sekolah mereka dahulu. Mereka harus beradaptasi dengan ritme kehidupan harian. Ini juga kali pertama mereka berbicara bukan dengan bahasa Ibu mereka. Pengalaman pertama kali mereka adalah disuruh membeli jajanan mereka sendiri. Ummi menyuruh anak pertama untuk membeli, akhirnya kedua adiknya ikut serta. Alhasil, mereka berhasil berkomunikasi langsung menggunakan bahasa diluar bahasa ibu mereka. Entahlah apa yang terjadi di warung, yang pasti mereka membawa jajanan dengan senang dan hati berbunga-bunga serta membawa uang kembalian yang pas sewaktu saya hitung.

Terus berlanjut, hari berganti, tahunpun berubah. Hingga pada suatu waktu, aku kembali memutuskan untuk kembali pulang. Beberapa exit plan sudah aku implementasikan, seperti mendaftarkan kembali anak-anak ke sekolah konvensional, mempersiapkan mental keluarga untuk hidup kembali di kampung halaman dengan segala plus minusnya, mengantarkan mereka pulang terlebih dahulu ke kampung halaman sementara aku harus balik lagi untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan.

Singkat cerita, inilah aku. Aku yang dulu berasal dari sini, berlayar dan berlabuh di negeri seberang, untuk kemudian kembali ke sini lagi. Untuk sebuah mimpi yang lebih tinggi lagi.


pulang ke kampung halaman



Mulailah kehidupan baru dan memulai adaptasi kembali. Yang dulunya pemasukan lancar di tanggal yang tetap pada setiap bulannya, sekarang pemasukan tak menentu, bisa di awal bulan, kadang di tengah, sempat juga di akhir bulan baru ada transferan. Sungguh perjuangan yang memerlukan militansi yang hebat. Sebuah pelajaran bab terbaru di universitas kehidupan, bab yang menerangkan akan pentingnya seorang insan berserah diri kepada ar-Raaziq sang Pemberi Rezeki.

Pengalaman ini sebenarnya sudah kucicipi sebentar setelah resign dari fortune company itu. Namun terjangan ombak dan petualangan roller coaster-nya lebih ekstrim. Sebuah journey yang tidak terbayang sebelumnya.

Oleh karena baru fase merintis, maka sebenarnya aku belum layak disebut pengusaha. Lebih tepatnya disebut sebagai self-employee. Karena apa-apa aku semua yang mengerjakan. Dari A ke Z akulah pekerjanya.

Para tetangga sering berkata,"enak ya bapak kerjanya dari rumah, bisa nyantai... dan lain lain..." Aku hanya membalasnya dengan senyum.

Dalam hati yang paling terdalam aku berujar, "mungkin karena mereka tak melihatku di dalam" mereka melihat hanya yang tampak dari luar. Konsekuensi dari self-employee adalah bisa jadi waktu kerja lebih lama dari mereka. Malam bisa jadi siang, siang jadi malam. Belum lagi kalau di rumah, ada sedikit "gangguan" dari anak, perlu mengerahkan segala pikiran dan tenaga untuk kerja paralel meladeni anak yang minta ditemani ketika mereka melukis dan juga meladeni customer yang sedang aktif-aktifnya tanya via email ataupun whatsapp.

Oleh karena "kerja di rumah" inilah aku sering kebagian jadi panitia atau seksi sibuk pada aktivitas di lingkunganku. Alasan mereka karena aku waktunya fleksibel, sering di rumah, dan seterusnya. Padahal menjadi panitia atau dewan kepengurusan ini adalah amanah, bukan dilakukan sebagai sampingan, harus totalitas. Jadi harus mengerahkan waktu dan menguras banyak pikiran. Sementara jika aku meninggalkan sementara (beberapa hari) untuk fokus kepada permasalahan di sebuah kepengurusan artinya aku tidak kerja (baca: tidak melakukan aktivitas internet marketing, tidak melakukan follow up, tidak melakukan aktivitas content marketing, tidak merespon complain customer, tidak merespon prospek / calon pembeli, tidak mengirim barang, dan seterusnya).

Jika tidak kerja beberapa hari, maka tidak ada pemasukan. Beda dengan mereka, jika mereka tidak kerja untuk fokus di permasalahan pada suatu kepengurusan bisa saja izin atau ambil cuti. Artinya mereka juga tidak datang ke kantor alias tidak bekerja, namun mereka tetap mendapatkan pemasukan di tanggal yang tetap. Artinya gaji bulanan tetap dapat asal jumlah cuti sesuai dengan peraturan.

Itu awal-awal pengalaman, yang pada akhirnya sekarang aku menyadari bahwa pendapatku sebelumnya ini keliru. Ternyata ada saja pertolongan Allah Ta'ala dari arah yang tidak disangka-sangka, yang tidak pernah terbersit, tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Tiba-tiba ada seseorang yang menelepon langsung dan tanpa tawar lagi terjadilah closing.

Ketika grafik sinusoidal tajam menukik ke bawah, kadang melihat dompet isinya hanya kertas. Itupun kertas kecil yang didapat sebagai bukti kalau kita bertransaksi di ATM. Pernah suatu pagi saya memandang dompet yang kelihatan tebal, ternyata tebal karena banyaknya kertas-kertas itu.

Kadang juga tak dinyana, saya menangis syukur kepada Allah, karena setelah itu saya melihat rekening via internet banking beberapa transferan masuk yang jumlahnya cukup untuk kebutuhan operasional keluarga beberapa bulan kedepan.

Aku bersyukur kepada Allah Ta'ala yang mengaruniai aku keluarga yang juga bisa beradaptasi menikmati roller coaster kehidupan ini. Tak henti-hentinya aku berdoa untuk kebaikan kami agar selamat di dunia dan di akhirat nanti.

Pada detik aku menulis blog ini, aku akhirnya merasakan ternyata pengalamanku di kampung halaman ini tak kalah heboh dan eksotisnya dengan pengalamanku berpetualang di negeri seberang.

Adakah pengalaman ini sudah cukup untuk bekal mengarungi angkasa menuju negeri di atas awan? Mimpiku sudah bergeser, titik koordinat sudah direvisi. Sekarang bukan waktunya berlayar lagi, namun mengarungi angkasa luas menuju negeri di atas awan.


menuju negeri di atas awan




Dari:
Hamba Allah yang lemah
Akhir Muharram 1439H
Saat mendung terlihat di angkasa dan terlihat pula grafik yang curam ke bawah di bumi
Ketika doa terpanjat agar dapat mengarungi angkasa menuju negeri di atas awan




Kejar terus kebaikan itu anakku

Sobat, kali ini saya mengisahkan sesosok ayah yang bernama Fulan. Fulan bersama dengan istri dan anak-anaknya telah merasakan pahit getir, suka duka, senang susah, asam garamnya kehidupan di negeri seberang. 

Oleh karena ada kepentingan, maka si Fulan mengantarkan istri dan anaknya ke kampung halamannya. Segera setelah menikmati indahnya silaturahim bersama orang-tua dan kerabat lainnya, si Fulan kembali pergi ke negeri seberang. Fulan kembali seorang diri. Untuk sementara sosok ayah ini terpisah jarak dengan istri dan anak-anaknya.

Alhamdulillah, Allah Ta'ala telah memudahkan mereka untuk berkomunikasi sekedar untuk bertanya kabar, menyetor hafalan, atau untuk saling berbagi kisah apa yang telah dilampauinya.

Terbayang betapa ruwet dan sibuknya istri si Fulan mengurus rumah dan anak-anaknya. Betapa tidak, anak-anak si Fulan sedang dalam masa bertumbuh dan sedang aktif-aktifnya melakukan sesuatu karena rasa ingin tahunya yang besar. 

Terbayang pula adaptasi yang harus dilakukan anak-anak si Fulan, sebab selama di negeri seberang mereka belajar ala homeschooling. Tidak ada kelas khusus untuk belajar, tempat belajar bisa dimana saja. Tidak ada waktu khusus untuk belajar, mereka belajar kapan waktu saja, tergantung kesiapan mereka dan ibunya. Tidak ada metoda khusus untuk mendapat ilmu baru, bisa saja hari ini mereka membaca buku, besok mendengar dari ayah atau dari ibunya. 

Kini mereka berada dikampung halamannya, mereka kembali belajar di sekolah. Ada kelas belajar. Ada waktu khusus untuk masuk ke kelas. Dan metoda untuk mendapat ilmu baru yang relatif seragam.

Segala puji bagi Allah, mereka dapat melewati itu semua. Allah karuniakan kepada anak-anak itu kemampuan adaptasi yang cepat. 

Ketika ada pertemuan orang-tua dan guru, istri si Fulan datang ke sekolah. Mereka berbincang tentang kemajuan anak-anak. Para guru mereka menyebutkan bahwa anak-anak termasuk anak yang disenangi oleh temannya, dan baik sikapnya disekolah. Alhamdulillah.

Waktu terus berjalan, sampailah waktu pembagian raport kenaikan kelas. Si Fulan mendapat kabar yang membahagiakan hatinya, ketiga anaknya mendapat nilai rata-rata diatas 96. Maa syaa Allah.

Begitu suka cita hatinya. Si Fulan jadi terbayang kepada sosok istrinya, yang merupakan sosok 'super mom'. Sosok yang sabar dan telaten dalam mengajarkan ketiga anak-anaknya, memotivasi mereka agar berprestasi di sekolah, ditambah lagi mengurus anaknya yang masih balita. 

Dibalik suka cita si Fulan, terdapat ribuan doa bagi anak-anaknya agar adab dan akhlaknya sebagus nilai raportnya. Diiringi dengan ucapan selamat kepada mereka, dan motivasi bagi mereka agar tetap semangat dalam berbuat kebaikan. Terus berprestasi, tetap bertaqwa dimanapun mereka berada. 

Si Fulanpun berpesan kepada anak-anaknya, terus kejar ilmu, terutama ilmu syar'i. Buah ilmu adalah amalan. Orang lain akan dapat merasakan manisnya buah adab dan akhlakmu. 

Ilmu itu melahirkan Tauhid yang kuat, aqidah yang mantap, akhlak yang indah. Ilmu itu menelurkan sosok pribadi bertaqwa.

Imam Ahmad berkata:

Pokok ilmu adalah rasa takut pada Allah

sumber: antara ilmu dan rasa takut pada Allah
__

Awal Ramadhan
menunggu adzan zuhur berkumandang