Pages

Antara IQ, EQ, SQ

Tentunya para pembaca masih ingat jika sudah pernah membaca bukunya Daniel Goleman yang berjudul Emotional INtelligence. Di buku itu dijelaskan bahwa kunci sukses seseorang ternyata tidak hanya disebabkan tingginya IQ ( Intelligence Quotion ) saja, ada faktor lain yang dapat membawa seseorang menuju jalan kesuksesan, yaitu EQ ( Emotional Quotion ) atau kecerdasan emosional.

Di dalam buku itu diceritakan yang pada intinya bahwa ada percobaan yang dilakukan terhadap anak kecil, dimana untuk mendapatkan sebuah kue yang enak, seorang anak harus berusaha dan menunggu terlebih dahulu. Dari sekian banyak anak, terdapat sedikit sekali anak yang akhirnya mendapat kue itu setelah berusaha dan menunggu. Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata anak-anak yang sabar ini meraih kesuksesan lebih dibanding teman-temannya yang lain. Setelah beberapa pengkajian dan penelitian lebih dalam, para penelitipun berkesimpulan bahwa kecerdasan emosional yang dimiliki oleh seseorang menjadi faktor kunci dalam keberhasilan seseorang.

Dewasa ini, ada perkembangan terbaru dalam menentukan faktor kunci keberhasilan seseorang, yaitu Spiritual Quotion ( SQ ). Teori ini berkembang setelah didapati banyak orang-orang yang sukses ternyata mempunyai ruhani yang kering. Mereka kehausan spiritual, setelah mendapatkan apa yang mereka impikan bahkan apa yang semua orang di dunia ini impikan, yaitu kekayaan berlimpah, ketenaran, kekuasaan, kedudukan yang tinggi. Mobil mobil lux mereka berjejer rapi di dalam rumah bak istana yang megah dan luas. Tetapi justru disitulah mereka menemukan neraka di dalamnya, suami dan istri yang bertikai sepanjang hari, anak-anak yang terbius oleh dunia kelamnya. Tidak ada kedamaian di sana, yang ada hanyalah detik-detik penantian menuju kehancuran penghuninya. Oleh karena itu selain IQ dan EQ yang tinggi, dibutuhkan lah apa yang dinamakan kecerdasan spiritual ( SQ ).

Kuncinya dari semua itu sebenarnya adalah keseimbangan. Konsep ini sudah dijelaskan pada tulisan sebelumnya, yaitu konsep tawazun ( keseimbangan ). Sistem akan rusak jika sub sistem - sub sistem di dalamnya berjalan tidak seimbang.

Ada banyak kisah nyata yang telah dituliskan di majalah-majalah dan surat kabar tentang ketidakseimbangan dalam menjalani kehidupan, kisah seseorang yang mengejar dunia seakan dia hidup selama-lamanya. Dia tahan bekerja dari pagi sampai pagi lagi hanya untuk mengejar materi dan kedudukan semata. Pada jam 6 pagi sudah berangkat bekerja sementara anak-anaknya yang sedang lucu-lucunya masih terlelap di dalam mimpinya. Sedangkan istrinya sibuk dengan urusan-urusan keduniaan lainnya dan meninggalkan serta mempercayakan pendidikan anaknya kepada baby sitter. Sang ayah sering pulang menjelang dini hari, paling cepatpun pukul 10 malam, jam dimana anak-anak mereka sudah tertidur lelap. Sang istri mencari pelampiasan di tengah kesepiannya dengan mengikuti klub-klub high class dengan wanita lain yang senasib. Sang istri mengalami kesepian diantara keramaian perkumpulan mereka.

Apa yang terjadi? pembaca sudah tahu jawabannya bukan? Iya, memang mereka mendapatkan apa yang mereka idam-idamkan, sang ayah mendapat kedudukan tinggi dengan gaji yang besar dan fasilitas lainnya. Akan tetapi masing-masing dari mereka mengalami kekeringan ruhani, ada suasana yang haus spiritual di rumah megah mereka. Bagaimana mereka tidak haus ruhani ? mereka tidak ada waktu untuk mempelajari dan mengamalkan agama mereka, bahkan untuk bercengkrama dengan anggota keluarga saja tidak sempat. Hal-hal penting tersebut dikalahkan oleh keinginannya yang sangat besar untuk meraih kesuksesan di dunia.

Bukan berarti penulis melarang seseorang untuk bekerja lembur, bahkan hal itu menjadi wajib jika ada sesuatu yang harus diselesaikan segera dan itu merupakan tanggung jawab kita. Tetapi hal itu tidak setiap hari kan? Kita harus bekerja "smart" dan "hard" agar pekerjaan selesai pada waktu yang ditargetkan. Usahakan pada jam pulang, kita sudah menyelesaikan pekerjaan agar kita pulang tepat waktu. Disiplin dan management waktu adalah penting dalam hal ini. Ukuran loyalitas dan prestasi kerja tidak diukur hanya dengan lamanya waktu kita berada di kantor, tetapi diukur dengan seberapa cepat dan tepatnya kita dalam menyelesaikan pekerjaan dan seberapa smart-nya kita dalam memecahkan masalah. Kalau ada management yang menerapkan begitu, berarti management itu menganggap pekerja hanya sebagai mesin yang harus berproduksi sebanyak-banyaknya tanpa kenal waktu.

Kita harus komitmen pada pekerjaan, tetapi komitmen pula pada keluarga. Kita mengejar dunia, tetapi jangan lupa kehidupan akhirat nanti. Disamping bekerja di kantor, ada waktu-waktu ibadah yang harus dikerjakan, ada waktu istirahat yang harus kita pergunakan sebaik-baiknya. Ada waktu libur yang bisa digunakan untuk menuntut ilmu agama. Ada waktu dimana kita bisa bercengkrama dengan keluarga, bercanda dengan anak, sharing dengan istri. Ada juga waktu dimana kita harus silaturahmi ke saudara dan tetangga kita. Ada waktu dimana kita bisa baca koran, ada juga waktu kita harus membaca Alqur'an. Ada waktu dimana kita harus tidur, ada juga waktu dimana kita harus berolahraga. Ada waktu kita mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, tetapi jangan lupa ada waktu dimana kita harus mengeluarkannya untuk berzakat dan sedekah. Ada waktu dimana kita hanya berdua saja dengan Sang Khaliq yaitu di sepertiga malam, ada juga waktu dimana kita harus bermasyarakat dan bersosialisasi. Ada waktu dimana kita bisa travelling kemana saja ketempat yang kita sukai. tetapi ada juga tempat yang wajib kita kunjungi bila kita mampu, yaitu pergi haji ke Mekkah.

Alangkah indahnya hidup ini, jika kita menjalaninya secara seimbang, selaras antara jasmani dan ruhani, antara material dan spiritual, antara individu dan sosial, antara keluarga dan masyarakat, antara IQ, EQ, dan SQ.
Ditulis oleh:
Abu Afra
Muharram 1427 H
Februari 2005 M

Masa lajang untuk Pendidikan Anak

Terdapat banyak buku yang membahas pendidikan anak. Beberapa teori mutakhir yang bisa kita baca melalui salah satu buku bahkan menjelaskan dengan gamblang kepada kita para pembaca bahwa pendidikan anak bisa dimulai dari kandungan.

Sebenarnya ada hal substansial yang kurang atau mungkin terlupa dari benak pemikiran kita, yaitu pendidikan kepada anak dimulai dari saat kita lajang. Itulah hal yang terpenting dan kita remehkan dalam pendidikan anak. Di zaman yang serba permisif dan liberal ini, kita saksikan disekeliling kita para remaja sudah menjadikan pergaulan sangat bebas menjadi gaya hidup keseharian mereka. Gaya hidup serba matrealistis dan hedonisme ini ditunjang dan dipublikasikan secara gratis
oleh berbagai media mulai dari koran, radio, TV, sampai internet.

Memang berat tantangan dan beban untuk mendidik anak kita di masa ini menjadi anak yang shalih dan prestatif kelak. Bagaimana tidak? Di sekeliling mereka terdapat banyak fasilitas untuk membuat mereka menjadi rusak. Lihat saja, kasus MBA ( Married by Accident ) yang dialami artis idola sebagian besar ABG ( Anak Baru Gede ) kita. Sewaktu diwawancarai
oleh sebuah stasiun Televisi, ibu dari pasangan artis itu seakan merasa tak bersalah dan berdosa menjawab dengan leganya karena si artis ("terpaksa") meminangnya. Bahkan, berita mutakhir telah beredar VCD Porno yang dilakukan oleh orang
Indonesia di Mataram. Belum lagi kasus narkoba, yang menyerang anak-anak dari kalangan bawah sampai kalangan atas.

Kembali ke masalah kapan dimulainya pendidikan untuk anak, hal ini seharusnya dimulai dari sewaktu kita lajang. Justru di saat itulah saat-saat yang kritis dalam menentukan apakah anak yang dihasilkan dari kita menjadi anak salih atau tidak. Apa saja yang harus kita lakukan diwaktu masa lajang kita?

- Persiapkan dengan baik fisik, mental, dan spiritual kita untuk membangun keluarga sakinah.
Kita bisa persiapkan diri kita dengan membaca buku-buku bertema bagaimana menjadi suami/istri yang baik, mempersiapkan sebuah keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, mengikuti kajian ilmu/seminar mengenai masalah keluarga, berniat dan berazzam serta berdo'a kepada Allah agar dikarunia pasangan yang shalih/shalihah dan mempunyai keturunan yang shalih/shalihah.

- Jaga pergaulan terutama dengan lawan jenis dengan menundukkan pandangan dan hati.

Melalui itu kita menjaga diri dari hal-hal yang mendekati zina. Dengan konsisten / istiqomah melakukan hal di atas, Insya Allah kita akan mendapat pasangan sekufu ( sama ) yang sama-sama menjaga hati dan dirinya dari perbuatan yang sia-sia. Ini merupakan janji Allah bahwa pria beriman akan mendapat wanita beriman, dan sebaliknya. Sesuai dengan fitrah manusia, bahwa sebenarnya kita akan senang mendapat pasangan yang terjaga dirinya dan suci hatinya.

- Bergaul dengan orang-orang shalih yang berakhlak baik.

Dalam hal ini, ada sebuah analogi yang baik sekali yang dicontohkan para salafus shalih. Jika kita bergaul dengan pandai besi, percikan apinya bisa mengenai diri kita, tetapi jika kita bergaul dengan penjual parfum, kemungkinan besar aroma wanginya bisa tetap bertahan pada tubuh kita.

Begitu juga kalau kita berteman dengan orang yang berakhlak buruk, besar kemungkinannya kita akan terpengaruh dengan mereka. Sebaliknya jika kita berteman dengan orang yang berakhlak baik, otomatis perangai kita pun berubah menjadi baik.

Ada banyak hal yang bisa lakukan untuk mengisi masa lajang kita dalam mempersiapkan jenjang pernikahan. Jika itu semua kita lakukan dengan istiqamah, percayalah kita akan menemukan pasangan hidup yang baik, pasangan hidup yang mempunyai satu visi, misi, persepsi dalam membangun bahtera rumah tangga. Jika dua insan tersebut bertemu dan membangun keluarga, maka adalah lebih mudah untuk mencetak generasi harapan, yaitu anak-anak yang shalih.

Ingatlah anak kita adalah investasi yang abadi. Rasulullah memberitahukan kepada kita bahwa jika manusia mati, terputuslah amalnya, kecuali tiga hal. Salah satunya adalah anak shalih/shalihah yang mendoakan kedua orang tuanya. Mudah-mudahan kita dikaruniai keturunan yang shalih yang bisa mendoakan kita, menjaga martabat kita, unggul dan
prestatif, serta sukses di dunia dan akhirat.

BUDAYA INDONESIA

Pada perjalanan menuju kantor hari ini, ada sebuah pengalaman menarik yang membuat saya trenyuh, kesal, geram, sedih , dan berbagai perasaaan lainnya. Bagaimana tidak, sewaktu kami berbaris rapih antri membayar tol di pintu keluar cililitan, ada satu mobil yang tiba-tiba menyelinap ditengah-tengah antara jalur kami dan jalur sebelah dengan kencangnya langsung "menyodok" di depan. Si Feroza itupun berebut jalur dengan mobil yang mengantri rapi sebelumnya. Seperti biasanya ( ada pameo yang menyebutkan " yang waras ngalah" ), akhirnya si penyerobot masuk dengan mudah lalu membayar karcis dengan senyum penuh kemenangan.
Yang membuat berbagai perasaan di atas menyelinap di hati saya adalah setelah melihat si supir dan rekannya, sepertinya mereka biasa saja dengan keadaan itu malah mereka tertawa tanpa ada rasa bersalah. Itulah budaya sebagian masyarakat kita yang membuat saya malu sebagai bangsa Indonesia.

Sebagai muslim yang dari kecil diajarkan adab-adab bermu'amalah dengan mahluk lain dan yang tinggal di negara yang mayoritas muslim, tentu saya merasakan hal-hal yang sudah saya sebutkan di atas tadi. Di dalam agama Islam melalui Alqur'an dan Sunnah, dan melihat sirah/perjalanan Rasul bersama sahabatnya, betapa Islam mengajarkan tentang budaya disiplin, teratur, menghormati orang lain, jujur, prestatif, adil, tidak boros, dan lain-lain.

Di dalam perjalanan saya berpikir kalau saja sebagian besar umat Islam di Indonesia mengikuti dengan Istiqamah suri tauladannya ( Rasulullah ) betapa dahsyat sumbangsihnya bagi negara kita ini. Kita akan menjadi negara maju, terdepan, menjadi teladan, dan bisa mengalahkan negara yang sekarang menjadi negara adidaya.
Disiplin secara teoretis mudah untuk dibicarakan di seminar-seminar hotel mewah, dibicarakan di sekolah, kampus, kantor, masjid, rumah, tetapi sangat sulit untuk dilaksanakan secara kontinya dan menyeluruh dalam keseharian kita. Bayangkan jika para pekerja disiplin pada kerjaanya, pengajar disiplin pada pengajarannya, pelajar disiplin dalam menuntut ilmu, pejabat pemerintah disiplin pada apa yg diamanahkan, anak disiplin pada aturan yang diterapkan orang tuanya, semua warga negara disiplin pada aturan/tata nilai yang diyakini benar, hasil dari perbuatan itu akan sangat besar membawa pengaruh positif di negara ini.

Akhir-akhir ini, saya optimis dengan keadaan negeri kita yang akan ke arah lebih baik. Ternyata secara individu, anak-anak Indonesia setingkat SMP/ SMA bisa berkompetisi secara sehat dengan anak-anak negeri lain. Kita bisa lihat , banyak pelajar Indonesia memperoleh medali perak, perunggu bahkan emas di bidang Informatika, Biologi, Matematika, Fisika, dan ilmu science. Kalau kita baca keseharian mereka melalui surat kabar, mereka adalah pelajar-pelajar yang disiplin dalam menuntut ilmu. Walau mereka bermain dan bergaul dengan teman-teman, mereka tidak mengorbankan waktu untuk belajar. Hasilnya adalah seperti yang kita lihat di Televisi, mereka mampu mendapat medali dan mengalahkan pelajar dari negara lain.

Saya juga melihat fenomena masa ini, banyak kaum muda yang ghirah keagamaannya meningkat, mereka mencari pasangan yang satu ide, satu visi,misi, dan persepsi. Mereka berdakwah mulai dari diri mereka, keluarga yang mereka bangun, untuk kemudian meluas kepada masyarakat di sekitar mereka. Saya berharap kita adalah salah satu dari mereka, yang berusaha membangun negara kita menjadi negara terdepan dalam kemajuan, akhlak, moral dan etika, menjadi negara yang disegani, negara yang menjadi rahmat bagi semesta alam, dan pusat peradaban dunia.

Marilah kita bangun generasi harapan, generasi Rabbani, sama-sama kita berusaha, berdoa, dan menunggu 10 atau 20 tahun lagi.
By: Abu Afra