Bahagia, tiada kata yang tepat untuk melukiskan perasaanku di hari yang suci itu selain kebahagiaan penuh syukur kepada Allah Sang Pencipta. Iya, bahagia karena pada hari itu adalah Idul Adha, hari dimana umat muslim di seluruh dunia merayakannya dan semuanya tanpa terkecuali berdzikir dengan takbir membesarkan Allah, tahmid memuji Allah, tahlil mentauhidkan Allah. Hari sebelumnya, lautan manusia berpakaian putih-putih berkumpul pada suatu tempat bernama padang arafah dengan satu tujuan yaitu berharap keridhaan Allah, berharap diterimanya taubat mereka, diterimanya amal mereka. Dengan penuh khusyuk dan deraian air mata, lautan putih-putih tadi bermuhasabah, menghaturkan do'a kepada Ilahi Rabbi sepanjang waktu. Subhanallah, inilah padang dimana kaum muslimin yang berlainan bangsa,ras,bahasa bertemu untuk satu cita yaitu bertemu dengan Allah di kampung akhirat nanti.
Ada sebuah anugrah yang membuat aku lebih bahagia lagi. Anugrah itu adalah kedatangan seorang manusia baru ke dunia yang kami nantikan selama sembilan bulan. Diwaktu gema takbir membahana di kota Bogor, diwaktu kaum papa merasakan gurihnya daging sapi, lezatnya sate kambing, diwaktu para mukhlisin rela berqurban mengeluarkan sebagian hartanya untuk dibagikan kepada insan yang membutuhkan, si mungil itu lahir. Si mungil yang cantik itu menambah jumlah nikmat yang diberikan Allah untuk diamanahkan kepada kami.
Pada 10 Januari 2006 yang bertepatan dengan 11 dzulhijjah 1426 H, suatu ketegangan dimulai, tepatnya pada jam 8 malam. Pada saat itu, istriku merasakan perutnya yang sakit. Beliau pikir hanya ingin buang air besar saja, jadi acara bercengkrama dengan keluarga di hari raya kita lanjutkan. Kemudian pada jam 10 malam, adrenalinku mengucur lebih deras lagi, karena istriku merasakan mulas yang sangat. Setengah jam kemudian ada cairan yang keluar, tanpa berpikir panjang aku bawa beliau ke Rumah Sakit Ibu dan Anak yang jaraknya lumayan jauh.
Disepanjang perjalanan istriku mengaduh sakit yang tidak tertahankan, ini membuat jantungku terpacu, adrenalinku terpompa kuat, syarafku tegang. Sementara air ketubannya sudah mengalir kemana-mana yang menandakan proses kelahiran akan berlangsung sebentar lagi. Aku memacu speedometer mobilku sampai 120 km/jam dijalan biasa, yang kalau pada siang hari paling-paling kecepatan mobil yang melaju hanya 40 km/jam.
Teriakan istriku semakin menggelegar saja rasanya. Sebagai orang yang bertauhid, kamipun mengadu kepada Allah agar dimudahkan dan disabarkan dalam proses persalinan nanti. Memang sebelumnya, aku menyuruh istriku melakukan wirid yang disunnahkan menjelang persalinan. Akupun membeli buku yang diterbikan oleh At-Tibyan yang berjudul WIRID WIRID MENJELANG PERSALINAN (ditulis oleh Ummu Abdillah Nurah Binti Abdurrahman). Alhamdulillah istriku mendawamkan dzikir-dzikir yang sesuai sunnah seperti yang terdapat pada buku di atas.
Pada pukul 11 malam, aku bersama satpam RS mengantar istriku yang sedang meringis di atas kursi roda menuju ke ruang persalinan. Pada saat itu hanya ada seorang suster yang menjaga dan dokter kandungan belum datang. Di ruangan itu hanya ada kami berdua, aku berdiri disamping kanan istriku sambil memegang erat tangannya. Suster keluar ruangan itu karena ingin mengambil peralatan persalinan dan menelepon dokter kandungan istriku. Belum sempat mengambil napas panjang, tiba-tiba pada jam 11.15 istriku berteriak,"wahai suamiku, bayinya sudah keluar!".
Akupun segera melihat kepala mungil yang bulat sedang keluar, aku menenangkan diri. Lalu pada saat sampai perut si bayi keluar, barulah suster datang dengan tergopoh-gopoh dan bersorak, "Alhamdulillah, waduh pintar sekali anak ini, keluar sendiri tanpa bantuan!". Spontan kalimat hamdalah aku haturkan kehadirat Allah atas kemudahan yang diberikan Allah. Lalu aku sampaikan kabar gembira ini kepada orang tuaku yang berada di Jakarta. Tak lama kemudian mertuaku datang menyusul ke ruangan persalinan dan memberikan ucapan selamat kepada kami.
Si cantik nan mungil yang bermuka bulat itu kami namakan Halwa Azka Hunafa. Halwa berarti manis, azka berarti lebih suci, sedangkan hunafa merupakan jamak dari hanif berarti jalan yang lurus. Mudah-mudahan si cantik ini tidak sekedar manis rupa, tetapi manis akhlaknya, manis budipekertinya yang membuat dia lebih suci dan dapat menjaga kesucian dirinya, kesucian hatinya sehingga berada di dalam barisan orang-orang yang lurus, yaitu lurus manhajnya, lurus jalannya sebagaimana jalannya orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah.
Ya Allah, karuniailah kami anak-anak yang shalih, anak yang bermanhaj shahih, anak yang prestatif, anak yang unggul di dunia dan akhirat, yang berbakti kepada orang tua dan bisa mendoakan kedua orang tuanya kelak. Aamiin.....
Written by:
Abu AfraDzulhijjah 1426 H / Januari 2006
1 comments:
Abu ... saya juga sedang menanti kehadiran anak ke-2 kami. Boleh saya tahu dimana saya bisa dapatkan buku WIRID-WIRID MENJELANG PERSALINAN itu?
Post a Comment