Pengalaman Yang Tak Kalah Seru
Pengalaman hidup merintis (lagi) usaha di kampung halaman ternyata tak kalah seru dibandingkan pengalaman tinggal di negeri seberang sana.
Perjalanan penuh kucuran keringat, luapan jiwa, indahnya grafik sinusoidal yang kadang ke atas dan sering ke bawah menghunjam bumi melemparkan sang awak untuk kemudian memantul kembali.
Pengalaman sarat pelajaran hidup , kadang diiringi jerit tangis dikesendirian sambil mengadu kepada Rabb pengatur alam semesta, yang membuat waktu berjalan begitu cepat, yang sempat membuat aku bertanya kepada diri apakah langkah yang aku pilih ini tepat, yang membuat aku lebih bijaksana kepada teman-teman yang ingin mengambil langkah yang sama denganku dengan menasehatinya selalu shalat istikharah dan pikir dalam-dalam, setelah sebelumnya aku menjadi motivator (atau tepatnya provokator) agar teman-teman segera mengikuti jejak langkah kami yang telah dahulu memulai.
Dan banyak lagi asam-garam yang telah aku cicip sebagai konsekuensi rute perjalanan hidup yang aku ambil.
Mungkin inilah yang membuat dua tahun ini aku tidak menghampiri blog ini untuk menuliskan sebuah kisah pembelajaran di universitas kehidupan. Akhirnya pada hari ini, aku menyapa teman dekatku ini. Aku "say hello" kepadanya, berinteraksi dengannya dengan ditemani oleh segelas kopi hitam sumatra yang diberi gula sedikit sebagai hiasan pemanis.
Di blog ini, aku telah menceritakan pengalamanku sebagai profesional IT di sebuah negara di Timur Tengah, yang kata orang-orang salah satu dari negeri terkaya.
Cerita dimulai dari resign-nya aku dari perusahan yang acapkali masuk perusahaan fortune 500, entah itu sebagai perusahaan terbaik maupun perusahaan sebagai tempat idaman para pencari kerja terbaik.
Sambil menulis ini, bibir saya tak sengaja menyungging senyum dan pikiran melesat menuju kejadian lampau sewaktu teman-teman saya menyebut saya "gila" (pakai tanda kutip) karena saya ingin keluar disaat ribuan orang ingin masuk ke sana.
Singkat cerita, berlayarlah saya ke pulau seberang, sampailah saya ke negeri impian. Dimulailah pengalaman suka-duka di negeri orang.
Tibalah waktunya untuk memulai pelajaran baru. Timbullah tantangan pertama. Tantangan ini bukanlah pada kesiapan profesionalitas atau bahasa, atau pada kesiapan mental untuk beradaptasi di lingkungan baru, namun ia muncul pada rasa hampa. Iya rasa hampa akibat ketiadaan keluarga, bahkan anak ke empat kami belum genap satu tahun usianya. Seorang bayi yang sedang lucu-lucunya.
Namun, sebagai akibat dari sebuah jalan yang harus ditempuh, aku berusaha untuk tetap tegar berangkat pantang mundur menaiki pesawat yang akan terbang selama delapan jam untuk sampai ke negeri impian sana.
Walaupun aku diberi penginapan mewah oleh sponsorku di sana, lengkap dengan berbagai fasilitas yang memanjakan diri, tetap saja hati ini basah karena kecamuk rindu, ketika ingat dengan mereka di rumah sana.
Waktu-waktu pembelajaran ini, Alhamdulillah kulalui dengan perlahan tapi pasti. Grafik sinusoidal pun bergerak menuju ke atas, akhirnya semua anggota keluarga kubawa serta menemani perjalanan melewati samudra agar mereka juga belajar mengatasi terjangan ombak dan melihat indahnya sinar matahari menembus dalamnya samudra.
Setelah ini, petualangan baru dimulai. Kami semua sama-sama belajar, masing-masing mengeluarkan kemampuan yang ia bisa untuk beradaptasi.
Aku salut kepada istri, ketika di kampung halaman aktivitas sehari-hari penuh dibantu oleh asisten rumah tangga. Di sini, beliau harus melakukan semuanya. Yang paling utama adalah mengajari dan mendidik anak-anak langsung karena anak-anak kami homeschooling (atas saran dari seniorku orang Amerika namun bahasa Arabnya lebih mahir dari saya). Tak tanggung-tanggung, beliau langsung mendidik empat orang anak. Sebuah aktivitas baru yang harus dijalani setiap hari yang belum dialaminya ketika di kampung halaman.
Aku juga bersyukur dan salut kepada anak-anak. Ini kali pertama mereka traveling jauh dari kampung halamannya, mereka sampai di saat musim di pulau harapan ini musim dingin, sebuah musim yang tidak dijumpai dan dialami mereka di kampung halaman. Alhamdulillah mereka kuat.
Ini kali pertama mereka belajar langsung dengan orang-tuanya, bukan di kelas di sekolah mereka dahulu. Mereka harus beradaptasi dengan ritme kehidupan harian. Ini juga kali pertama mereka berbicara bukan dengan bahasa Ibu mereka. Pengalaman pertama kali mereka adalah disuruh membeli jajanan mereka sendiri. Ummi menyuruh anak pertama untuk membeli, akhirnya kedua adiknya ikut serta. Alhasil, mereka berhasil berkomunikasi langsung menggunakan bahasa diluar bahasa ibu mereka. Entahlah apa yang terjadi di warung, yang pasti mereka membawa jajanan dengan senang dan hati berbunga-bunga serta membawa uang kembalian yang pas sewaktu saya hitung.
Terus berlanjut, hari berganti, tahunpun berubah. Hingga pada suatu waktu, aku kembali memutuskan untuk kembali pulang. Beberapa exit plan sudah aku implementasikan, seperti mendaftarkan kembali anak-anak ke sekolah konvensional, mempersiapkan mental keluarga untuk hidup kembali di kampung halaman dengan segala plus minusnya, mengantarkan mereka pulang terlebih dahulu ke kampung halaman sementara aku harus balik lagi untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan.
Singkat cerita, inilah aku. Aku yang dulu berasal dari sini, berlayar dan berlabuh di negeri seberang, untuk kemudian kembali ke sini lagi. Untuk sebuah mimpi yang lebih tinggi lagi.
Mulailah kehidupan baru dan memulai adaptasi kembali. Yang dulunya pemasukan lancar di tanggal yang tetap pada setiap bulannya, sekarang pemasukan tak menentu, bisa di awal bulan, kadang di tengah, sempat juga di akhir bulan baru ada transferan. Sungguh perjuangan yang memerlukan militansi yang hebat. Sebuah pelajaran bab terbaru di universitas kehidupan, bab yang menerangkan akan pentingnya seorang insan berserah diri kepada ar-Raaziq sang Pemberi Rezeki.
Pengalaman ini sebenarnya sudah kucicipi sebentar setelah resign dari fortune company itu. Namun terjangan ombak dan petualangan roller coaster-nya lebih ekstrim. Sebuah journey yang tidak terbayang sebelumnya.
Oleh karena baru fase merintis, maka sebenarnya aku belum layak disebut pengusaha. Lebih tepatnya disebut sebagai self-employee. Karena apa-apa aku semua yang mengerjakan. Dari A ke Z akulah pekerjanya.
Para tetangga sering berkata,"enak ya bapak kerjanya dari rumah, bisa nyantai... dan lain lain..." Aku hanya membalasnya dengan senyum.
Dalam hati yang paling terdalam aku berujar, "mungkin karena mereka tak melihatku di dalam" mereka melihat hanya yang tampak dari luar. Konsekuensi dari self-employee adalah bisa jadi waktu kerja lebih lama dari mereka. Malam bisa jadi siang, siang jadi malam. Belum lagi kalau di rumah, ada sedikit "gangguan" dari anak, perlu mengerahkan segala pikiran dan tenaga untuk kerja paralel meladeni anak yang minta ditemani ketika mereka melukis dan juga meladeni customer yang sedang aktif-aktifnya tanya via email ataupun whatsapp.
Oleh karena "kerja di rumah" inilah aku sering kebagian jadi panitia atau seksi sibuk pada aktivitas di lingkunganku. Alasan mereka karena aku waktunya fleksibel, sering di rumah, dan seterusnya. Padahal menjadi panitia atau dewan kepengurusan ini adalah amanah, bukan dilakukan sebagai sampingan, harus totalitas. Jadi harus mengerahkan waktu dan menguras banyak pikiran. Sementara jika aku meninggalkan sementara (beberapa hari) untuk fokus kepada permasalahan di sebuah kepengurusan artinya aku tidak kerja (baca: tidak melakukan aktivitas internet marketing, tidak melakukan follow up, tidak melakukan aktivitas content marketing, tidak merespon complain customer, tidak merespon prospek / calon pembeli, tidak mengirim barang, dan seterusnya).
Jika tidak kerja beberapa hari, maka tidak ada pemasukan. Beda dengan mereka, jika mereka tidak kerja untuk fokus di permasalahan pada suatu kepengurusan bisa saja izin atau ambil cuti. Artinya mereka juga tidak datang ke kantor alias tidak bekerja, namun mereka tetap mendapatkan pemasukan di tanggal yang tetap. Artinya gaji bulanan tetap dapat asal jumlah cuti sesuai dengan peraturan.
Itu awal-awal pengalaman, yang pada akhirnya sekarang aku menyadari bahwa pendapatku sebelumnya ini keliru. Ternyata ada saja pertolongan Allah Ta'ala dari arah yang tidak disangka-sangka, yang tidak pernah terbersit, tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Tiba-tiba ada seseorang yang menelepon langsung dan tanpa tawar lagi terjadilah closing.
Ketika grafik sinusoidal tajam menukik ke bawah, kadang melihat dompet isinya hanya kertas. Itupun kertas kecil yang didapat sebagai bukti kalau kita bertransaksi di ATM. Pernah suatu pagi saya memandang dompet yang kelihatan tebal, ternyata tebal karena banyaknya kertas-kertas itu.
Kadang juga tak dinyana, saya menangis syukur kepada Allah, karena setelah itu saya melihat rekening via internet banking beberapa transferan masuk yang jumlahnya cukup untuk kebutuhan operasional keluarga beberapa bulan kedepan.
Aku bersyukur kepada Allah Ta'ala yang mengaruniai aku keluarga yang juga bisa beradaptasi menikmati roller coaster kehidupan ini. Tak henti-hentinya aku berdoa untuk kebaikan kami agar selamat di dunia dan di akhirat nanti.
Pada detik aku menulis blog ini, aku akhirnya merasakan ternyata pengalamanku di kampung halaman ini tak kalah heboh dan eksotisnya dengan pengalamanku berpetualang di negeri seberang.
Adakah pengalaman ini sudah cukup untuk bekal mengarungi angkasa menuju negeri di atas awan? Mimpiku sudah bergeser, titik koordinat sudah direvisi. Sekarang bukan waktunya berlayar lagi, namun mengarungi angkasa luas menuju negeri di atas awan.
Dari:
Hamba Allah yang lemah
Akhir Muharram 1439H
Saat mendung terlihat di angkasa dan terlihat pula grafik yang curam ke bawah di bumi
Ketika doa terpanjat agar dapat mengarungi angkasa menuju negeri di atas awan
Subscribe to:
Posts (Atom)