Pages

Perjalanan Jauh untuk bertemu master Belut

Biasanya, saya malas sekali untuk bepergian jauh kalo tidak penting-penting amat. Apalagi naik bis umum yang sumpek, ditambah jalanan macet disertai cuaca yang sedang panas bertambah lengkaplah penderitaanku.

Tapi tidak saat ini. Semenjak membaca buku motivasi versi Indonesia atau versi English, seperti Tung Desem Waringin yang menulis Financial Revolution, Awaken the giant within-nya Anthony Robbins , ada perubahan yang terjadi. Entah mengapa saya merasa bersemangat untuk mencari ilmu, dalam hal ini tentang budi daya belut di daerah yang cukup jauh dari rumah saya.

Orang yang saya temui adalah orang yang baik yang senang membagikan ilmunya kepada orang lain. Ini menjadikan hilangnya rasa penat,pegal, capai, panas, letih, dan lelah pada diri saya. Perasaan itu berubah menjadi perasaan semangat untuk mendengarkan dan mencari tahu tentang pengalaman beliau di bidang ini.

Perjalanan bermula dari salahnya saya naik bus. Keterusan sampai ke pasar Cikupa, eh harus balik lagi ke kebun nanas melewati riuhnya orang dan mobil serta panasnya terik matahari yang membasahi raga. Setelah menanti bus ke arah Rangkasbitung, akhirnya naik juga. Niatnya duduk dan tidur sebentar ke balaraja, ternyata tidak bisa, karena harus berdiri. Yah, tidur sampai berdiri, tidak tahu ya, ternyata bisa juga ya.

Di saat penat yang memuncak, sampailah saya di balaraja. Dikira dari situ sudah dekat, ternyata harus menempuh berkilo-kilo lagi pakai angkot untuk sampai ke rumah sang master. Pusing dan pegal saya rasakan dalam perjalanan ini, tetapi sontak hilang setelah ojek mengantarkan saya ke rumah beliau dan terdengar adzan dzuhur yang mendayu-dayu membuat kami melangkah ke Mushalla.

Air wudhu yang menyentuh tubuh saya terasa embun di tengah sahara. Itu membuat jiwa dan raga fresh kembali dan siap menimba ilmu tentang pembudidayaan belut. Ternyata belut itu kaya protein, memperkuat vitalitas tubuh, pantas saja orang-orang Jepang, Korea, Singapura, Malaysia pada suka ya…

Sekarang kami siap untuk berbudi daya belut, pasar ekspor melimpah, pasar domestik juga tak kalah menarik. Ada satu hal penting yang saya rasakan, yaitu rasa bahagia ketika membuka lapangan pekerjaan bagi orang yang membutuhkan. Inilah rasa yang kita cari selama ini bukan?? Iya, bahagia…….

BTW, kalo rekan2 ada permintaan belut jangan sungkan-sungkan ya menghubungi saya. Tapi harap bersabar, panennya sekitar 4 – 6 bulan lagi.. :-)


1 comments:

Anonymous said...

HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Sabtu 7 April 2007
http://www.pikiran-rakyat.co.id/cetak/2007/042007/07/0602.htm

Tidak Termasuk pada Komoditas Ekspor
Budi Daya Belut tak Ada Jaminan

BANDUNG, (PR).-
Masyarakat diminta berhati-hati dalam merespons anjuran sejumlah pihak, untuk membudidayakan belut dengan iming-iming pasaran ekspor. Pasalnya, belakangan ini banyak masyarakat tergiur membudidayakan hewan sawah itu walau secara teknis belum ada jaminan kelayakan usaha.

Pengurus Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN), Muhamad Husen, di Bandung, beberapa waktu lalu mengatakan, sejauh ini budi daya belut belum pernah dilakukan. Kalaupun dipaksakan, tak berhasil. Hewan belut memang laku keras di pasaran, namun selama ini pasokannya praktis dari hasil tangkapan.

“Masyarakat agar lebih jeli dalam menerima anjuran pembudidayaan belut karena yang dapat dibudidayakan adalah jenis sidat. Kedua hewan ini mirip namun tak sama, di mana sidat sudah dibudidayakan secara bisnis oleh perusahaan tertentu untuk ekspor,” ujarnya.

Maraknya masyarakat mencoba membudidayakan belut terjadi setelah banyaknya kampanye, baik melalui diskusi maupun pelatihan pembudidayaan belut. Namun, sejauh ini pertanggungjawabannya belum jelas, begitu pula bukti fisik pembudidayaan dan secara bisnis. Oleh para penganjur budi daya belut, masyarakat dikabari harga belut hasil budi daya Rp 30.000,00/kg untuk ekspor.

Muhamad Husen menduga, praktik-praktik bujukan pembudidayaan belut ini sekadar tipu daya dari sejumlah pihak yang sebenarnya memiliki tujuan lain. Namun, masyarakat umum yang menjadi korban karena mengikuti anjuran pihak-pihak tak bertanggung jawab, seperti saat ramai-ramai membudidayakan cacing beberapa tahun lalu.

Secara terpisah, Kasi Perlindungan Dinas Perikanan Jabar, Piter R., serta Humas Mardiani, mengatakan, puluhan orang asal Bandung dan Cimahi mengadu ke Dinas Perikanan Jabar karena kebingungan akibat kegagalan usaha pembudidayaan belut. Mereka mengaku mempelajarinya dari sejumlah orang yang menggelar seminar dan pelatihan budi daya belut baru-baru ini.

“Setahu kami, para penganjur budi daya belut ini banyak memberikan informasi fiktif tentang usaha mereka, dengan modus ingin memperoleh kredit dari bank. Padahal dari analisis usaha, pembudidayaan belut sebenarnya merugi karena untuk kenaikan 1 kg belut dibutuhkan 10 kg pakan daging-dagingan karena hewan itu termasuk karnivora (pemakan daging),” kata Piter.

Dikatakan Piter, dengan analisis usaha seperti ini, harga belut harus mencapai Rp 100.000,00/kg dari pembudi daya. Dengan harga sebesar itu, tak diyakini ada pembeli yang berminat, dibandingkan harga sidat yang hanya Rp 50.000,00 atau mengusahakan ikan lele dengan harga bersaing. Di lain pihak, usaha perdagangan belut pun ternyata secara ekspor tak masuk dalam daftar yang diumumkan Ditjen Budidaya Perikanan Departemen Perikanan dan Kelautan. (A-81)***