Pages

kognitif vs akhlaq

Setiap hari saya melalui tol jagorawi. Sering menemui orang yang berkecepatan dibawah 80 km/jam, tapi tetap ngotot berada di jalur paling kanan. Mobil di belakang sudah memberikan sign kanan bahkan lampu dim, akan tetapi mobil itu tetap saja tidak mau beranjak dan membuat jalan jadi agak tersendat.

Pernahkah anda naik angkot, lalu ada orang seenaknya mengumbar asap rokok kemana mana? Padahal di sebelahnya ada wanita yang terbatuk batuk sambil menutupi hidungnya dengan tissue.

Atau mungkin anda pernah naik bus umum dimana ada wanita paruh baya naik, tetapi tak satupun pemuda yang didekatnya mempersilahkan wanita ini duduk.

Cukup saja deh contohnya, sebab kalau mau dituliskan satu persatu yang saya alami akan membuat tulisan ini panjang berlembar lembar.

Contoh di atas adalah kurangnya sikap tenggang rasa, tepa selira, peduli, empati, perhatian, menolong, dan banyak sinonim lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Untuk merubah itu semua dengan sekali waktu, tak mungkin dilakukan, bayangkan berapa banyak ummat manusia yang akan dinasehati. Oleh karena itu saya mendukung gerakan pendidikan akhlaq dimulai dari rumah, dimana kalau seluruh orang tua sadar dan mengimplementasikan dengan mendidik anak berbasis karakter, efeknya akan seperti bola salju sehingga akan terbentuk masyarakat yang beradab.

Saya hanya mengingatkan para orang tua bahwa disamping fokus kepada pendidikan kognitif akademis dengan memberikan les ini les itu, privat ini privat itu, harus juga fokus kepada pendidikan moral dan karakter. Dalam bahasa Agamanya pendidikan akhlaq. Sehingga akademis berbanding lurus dengan akhlaq. Diharapkan semakin anak berilmu semakin pula akhlaq nya baik.

0 comments: