Setelah beberapa hari menjadi orang pensiunan, ada beberapa sikap hidup yang berubah 180 derajat. Salah satu diantara sekian banyak sikap hidup itu adalah dari selalu tergesa gesa menjadi hidup slow.
Dahulu kala, hari hari saya isi dengan sikap hidup tergesa gesa, mulai dari bangun tidur sampai mau tidur. Dimulai dari setelah shalat subuh berjamaah di masjid, saya langsung bergegas pulang agar bisa persiapan kerja. Dengan setengah berlari saya menuju rumah. Seringkali tidak sempat sarapan pagi karena harus bergegas pergi, terlambat 15 menit saja, ruwetnya lalu lintas jakarta sudah menanti.
Saya harus lebih cepat dari ribuan manusia agar mendapat posisi yang enak di Kereta commuter Bogor-Jakarta. Setelah sampai stasiun cawang, saya harus tergesa gesa berjalan setengah berlari menuju halte busway transjakarta. Terlambat beberapa menit saja, pengaruh sangat signifikan untuk keterlambatan tiba di kantor.
Sampai di kantor, saya terpaksa tergesa gesa sarapan, karena perut lapar sekali dan jam kerja sudah tiba. Setelah itu, saya harus memanage waktu dengan hard dan smart, karena saya di unit support yang harus mendukung user user saya yang banyak jumlahnya. Kadang user satu minta segera diselesaikan cepat, belum lagi setengah berjalan, user satu lagi mengatakan,"Mas, ini urgent sekali, bisa nggak selesai cepat?" Sementara core pekerjaan saya juga harus diselesaikan agar tercapai target pencapaian kerja. Oleh karena itu, saya tidak hanya memutar otak saja untuk menghadapinya dengan smart, tapi juga dibalik balik juga sepertinya agar bisa bekerja di bawah pressure.
Tidak sampai disitu, pulangnya pun saya harus cepat. Dengan setengah berlari saya harus lebih dahulu dari lautan manusia yang juga punya tujuan sama, yaitu pulang ke rumah untuk berkumpul dengan keluarganya. Tidak boleh telat 5 menit, kalau telat, rasakan akibatnya. Hampir dipastikan saya tidak bisa shalat Isya berjamaah di lingkungan rumah.
Ternyata sikap tergesa gesa tidak berhenti disini saja. Setelah dirumah, setelah bercengkrama dengan anak dan istri, saya bergegas untuk tidur. Dengan tujuan agar dapat bangun pagi dengan segar untuk bersiap dengan aktifitas besok.
Sebenarnya saya sangat enjoy dengan gaya hidup cepat ini, terlebih saya pernah bekerja di salah satu perusahaan manufacturing Jepang. Berjalan cepat, bekerja cepat, mengambil keputusan dengan cepat sangat saya nikmati saat itu.
Sampai suatu saat, tiba tiba sebuah kejadian menghentakku... Bersambung
Dahulu kala, hari hari saya isi dengan sikap hidup tergesa gesa, mulai dari bangun tidur sampai mau tidur. Dimulai dari setelah shalat subuh berjamaah di masjid, saya langsung bergegas pulang agar bisa persiapan kerja. Dengan setengah berlari saya menuju rumah. Seringkali tidak sempat sarapan pagi karena harus bergegas pergi, terlambat 15 menit saja, ruwetnya lalu lintas jakarta sudah menanti.
Saya harus lebih cepat dari ribuan manusia agar mendapat posisi yang enak di Kereta commuter Bogor-Jakarta. Setelah sampai stasiun cawang, saya harus tergesa gesa berjalan setengah berlari menuju halte busway transjakarta. Terlambat beberapa menit saja, pengaruh sangat signifikan untuk keterlambatan tiba di kantor.
Sampai di kantor, saya terpaksa tergesa gesa sarapan, karena perut lapar sekali dan jam kerja sudah tiba. Setelah itu, saya harus memanage waktu dengan hard dan smart, karena saya di unit support yang harus mendukung user user saya yang banyak jumlahnya. Kadang user satu minta segera diselesaikan cepat, belum lagi setengah berjalan, user satu lagi mengatakan,"Mas, ini urgent sekali, bisa nggak selesai cepat?" Sementara core pekerjaan saya juga harus diselesaikan agar tercapai target pencapaian kerja. Oleh karena itu, saya tidak hanya memutar otak saja untuk menghadapinya dengan smart, tapi juga dibalik balik juga sepertinya agar bisa bekerja di bawah pressure.
Tidak sampai disitu, pulangnya pun saya harus cepat. Dengan setengah berlari saya harus lebih dahulu dari lautan manusia yang juga punya tujuan sama, yaitu pulang ke rumah untuk berkumpul dengan keluarganya. Tidak boleh telat 5 menit, kalau telat, rasakan akibatnya. Hampir dipastikan saya tidak bisa shalat Isya berjamaah di lingkungan rumah.
Ternyata sikap tergesa gesa tidak berhenti disini saja. Setelah dirumah, setelah bercengkrama dengan anak dan istri, saya bergegas untuk tidur. Dengan tujuan agar dapat bangun pagi dengan segar untuk bersiap dengan aktifitas besok.
Sebenarnya saya sangat enjoy dengan gaya hidup cepat ini, terlebih saya pernah bekerja di salah satu perusahaan manufacturing Jepang. Berjalan cepat, bekerja cepat, mengambil keputusan dengan cepat sangat saya nikmati saat itu.
Sampai suatu saat, tiba tiba sebuah kejadian menghentakku... Bersambung
0 comments:
Post a Comment