Beberapa waktu lalu saya pergi ke Jakarta (dari bogor). Oleh karena pergi sendirian, saya memutuskan naik bis umum. "Hmmmhh, sepertinya masih lama nih berangkatnya", gumam saya dalam hati. Saya berkata seperti ini setelah melihat baru segelintir manusia yang sudah menaiki bis tersebut.
Pada awalnya terasa berat dan lama. Setelah melihat jam di HP, waktu sudah berlalu sekitar setengah jam. Artinya saya telah berbengong ria selama waktu itu. Akhirnya saya putuskan beli koran karena saya tidak membawa buku bacaan (sebab tidak bawa tas). Mendekati menit ke empat puluh, mulai datang beberapa keluarga yang naik. "Lumayan, sudah setengahnya", batin saya. Lalu saya teruskan membaca.
Beberapa jurus kemudian, datanglah bapak bapak, ibu ibu, anak anak, dan orang orang yang satu persatu menduduki bangku di bis ini. Setelah menoleh sekeliling saya berkata,"sip.. sudah tiga per empatnya terisi, jadi sebentar lagi berangkat" Dan benar saja, ternyata ada saja orang yang pergi ke tujuan yang sama dan naik bis yang sama dengan waktu yang sama. Penuhlah bis itu, serta merta berangkatlah bis itu menuju jakarta.
Pada waktu itu, saya tidak bisa tidur. Malah berpikir mengenai kejadian di atas, tapi dari sudut pandang si supir. "Ah, kalo saya jadi supir atau kernet pasti saya juga menunggu bis sampai penuh penumpang", kata saya. "Pastilah, kan harus bayar setoran setiap kali berangkat, kalau ingin dapat duit berlebih maka saya harus mempunyai penumpang sampai penuh, bahkan berlebih", tambah saya. Memang saya melihat tampang si kernet yang nyantai saja, walaupun banyak penumpang berdecak kesal maupun sumpah serapah walaupun di dalam hati. Mungkin pikir si kernet, "biarin aja, yang penting gue nunggu penumpang sampai penuh, barulah gue jalan".
Berdasarkan data statistik berdasarkan pengalaman saya beberapa kali naik bis ke jakarta, lama saya menunggu rata rata sekitar dua puluh sampai empat puluh menit sejak saya duduk di bangku bis. Saya sendiri juga heran, kenapa ya selalu ada dan penuh penumpang dengan rentang waktu tersebut. Jadi dengan bersabar "sedikit", supir dan kernet mendapat penumpang yang berlebih.Kalau kejadian itu ditarik ke ruang bisnis kita, apakah kita bisa sabar "sedikit" untuk menunggu pembeli produk dan jasa kita? Saya punya pengalaman sewaktu menjadi penjual salah satu diapers buatan malaysia. Saya iklankan di iklan baris via internet. Setelah saya pikir cukup lama menunggu (dalam perspektif saya dahulu tentunya) belum ada satupun pembeli atau yang berminat menjadi agen, akhirnya saya putuskan untuk memakai produk tersebut untuk kalangan sendiri (anak dan keluarga lain yang membutuhkan). Istilah keren dari kalimat terakhir adalah rugi.
Ternyata beberapa masa setelah waktu berlalu, tiba tiba banyak sms dan email masuk ke saya menanyakan prosedur menjadi agen. Setiap hari ada saja yang menanyakan, apakah untuk dijual kembali, untuk dipasok kembali ke LSM, konsinyasi, ditaruh di minimarketnya, dan lain lain. Weleh weleh, saya jadi kelabakan menjawab satu persatu dengan kalimat,"Maaf Bpk/Ibu, saya sudah tidak jual diapers lagi, sekarang saya memproduksi baju renang muslimah. Jika Bpk/Ibu memerlukan baju renang muslimah, bisa menghubungi saya lagi".. dan seterusnya.
Saya berpikir, jikalau saya bersabar "sedikit" dan menunggu masanya, saya bisa menekuni bisnis tersebut. Akan tetapi, saya tidak sabar. Untung saja saya mendapat pertolongan dari Maha Pemberi Rezeki, saya tidak larut dalam kerugian (baca: mengeluarkan ongkos belajar). Istri saya berinisiatif untuk membuka lapangan pekerjaan dengan memproduksi baju renang muslimah yang Alhamdulillah masih konsisten kami jalani. Maka tidak aneh jika ada orang berkata "Sabar berbuah bahagia". Seperti pada status di Y!M dan GTalk saya sekarang yaitu "sabar pasti bahagia"
Wassalam,
Pada awalnya terasa berat dan lama. Setelah melihat jam di HP, waktu sudah berlalu sekitar setengah jam. Artinya saya telah berbengong ria selama waktu itu. Akhirnya saya putuskan beli koran karena saya tidak membawa buku bacaan (sebab tidak bawa tas). Mendekati menit ke empat puluh, mulai datang beberapa keluarga yang naik. "Lumayan, sudah setengahnya", batin saya. Lalu saya teruskan membaca.
Beberapa jurus kemudian, datanglah bapak bapak, ibu ibu, anak anak, dan orang orang yang satu persatu menduduki bangku di bis ini. Setelah menoleh sekeliling saya berkata,"sip.. sudah tiga per empatnya terisi, jadi sebentar lagi berangkat" Dan benar saja, ternyata ada saja orang yang pergi ke tujuan yang sama dan naik bis yang sama dengan waktu yang sama. Penuhlah bis itu, serta merta berangkatlah bis itu menuju jakarta.
Pada waktu itu, saya tidak bisa tidur. Malah berpikir mengenai kejadian di atas, tapi dari sudut pandang si supir. "Ah, kalo saya jadi supir atau kernet pasti saya juga menunggu bis sampai penuh penumpang", kata saya. "Pastilah, kan harus bayar setoran setiap kali berangkat, kalau ingin dapat duit berlebih maka saya harus mempunyai penumpang sampai penuh, bahkan berlebih", tambah saya. Memang saya melihat tampang si kernet yang nyantai saja, walaupun banyak penumpang berdecak kesal maupun sumpah serapah walaupun di dalam hati. Mungkin pikir si kernet, "biarin aja, yang penting gue nunggu penumpang sampai penuh, barulah gue jalan".
Berdasarkan data statistik berdasarkan pengalaman saya beberapa kali naik bis ke jakarta, lama saya menunggu rata rata sekitar dua puluh sampai empat puluh menit sejak saya duduk di bangku bis. Saya sendiri juga heran, kenapa ya selalu ada dan penuh penumpang dengan rentang waktu tersebut. Jadi dengan bersabar "sedikit", supir dan kernet mendapat penumpang yang berlebih.Kalau kejadian itu ditarik ke ruang bisnis kita, apakah kita bisa sabar "sedikit" untuk menunggu pembeli produk dan jasa kita? Saya punya pengalaman sewaktu menjadi penjual salah satu diapers buatan malaysia. Saya iklankan di iklan baris via internet. Setelah saya pikir cukup lama menunggu (dalam perspektif saya dahulu tentunya) belum ada satupun pembeli atau yang berminat menjadi agen, akhirnya saya putuskan untuk memakai produk tersebut untuk kalangan sendiri (anak dan keluarga lain yang membutuhkan). Istilah keren dari kalimat terakhir adalah rugi.
Ternyata beberapa masa setelah waktu berlalu, tiba tiba banyak sms dan email masuk ke saya menanyakan prosedur menjadi agen. Setiap hari ada saja yang menanyakan, apakah untuk dijual kembali, untuk dipasok kembali ke LSM, konsinyasi, ditaruh di minimarketnya, dan lain lain. Weleh weleh, saya jadi kelabakan menjawab satu persatu dengan kalimat,"Maaf Bpk/Ibu, saya sudah tidak jual diapers lagi, sekarang saya memproduksi baju renang muslimah. Jika Bpk/Ibu memerlukan baju renang muslimah, bisa menghubungi saya lagi".. dan seterusnya.
Saya berpikir, jikalau saya bersabar "sedikit" dan menunggu masanya, saya bisa menekuni bisnis tersebut. Akan tetapi, saya tidak sabar. Untung saja saya mendapat pertolongan dari Maha Pemberi Rezeki, saya tidak larut dalam kerugian (baca: mengeluarkan ongkos belajar). Istri saya berinisiatif untuk membuka lapangan pekerjaan dengan memproduksi baju renang muslimah yang Alhamdulillah masih konsisten kami jalani. Maka tidak aneh jika ada orang berkata "Sabar berbuah bahagia". Seperti pada status di Y!M dan GTalk saya sekarang yaitu "sabar pasti bahagia"
Wassalam,
0 comments:
Post a Comment