Beberapa hari setelah masuk kantor, saya memutuskan cuti kembali. Setelah tenang karena libur lebaran yang demikian panjang, saya kembali berjibaku dengan rutinitas kemacetan yang semakin menjadi, pekerjaan yang itu-itu saja, dan lain sebagainya. Oleh karena itu dipandang perlu untuk keluar dari “rat race” itu. Untuk itulah saya memutuskan untuk cuti kembali (maklum masih pegawai).
Menurut saya untuk menjadi wirausahawan, perlu dibentuk dan dibina mental sebagai entrepreneur sejati dari sekarang juga walaupun status kita masih TDB alias karyawan. Oleh karena itulah saya melatih dan membiasakan diri saya untuk bersikap sebagai orang yang punya kebebasan waktu dan kebebasan financial.
Contoh pertama: ketika anak saya sakit, saya merogoh kocek sendiri untuk pembiayaan rumah sakitnya walaupun ada fasilitas kesehatan dari kantor. Disamping pengurusan reimbursement yang berbelit-belit karena bukan dirawat di rumah sakit rujukan kantor, mengapa saya tidak berobat ke sana, tidak lain tidak bukan karena lokasi yang jauh dari rumah. Sebagaimana orang tua pada umumnya yang ingin segera mengobati penyakit dan mencari rumah sakit terdekat, maka saya memutuskan untuk berobat kesana, tapi beribu kali sayang rumah sakit tersebut bukan rujukan, makanya saya harus membayar biaya tersebut sendiri.
Sebenarnya mau sih untuk reimburse biaya ke kantor, tapi dengan pengalaman yang sudah dua kali, yang dicoretlah obatnya, dikurangi-lah biaya dokter spesialisnya, akhirnya dengan pasrah saya hanya dapat penggantian kurang dari setengahnya. Saya mencoba bersyukur, “Alhamdulillah dapat pengganti walaupun kurang dari setengah” walaupun di dalam hati ngedumel tak karuan.
Oleh karena sebagai wirausahawan, kita harus membayar sendiri biaya pengobatan, jadi saya memutuskan belajar untuk membiayai sendiri pengobatan tersebut. Hikmah yang bisa diambil dari kejadian ini adalah, kami sekeluarga lebih concern dengan kesehatan dengan mengkonsumsi apa yang disunnahkan Nabi, seperti habatussauda, madu, zaitun, kurma, dan lain-lain sehingga kesehatan kami sekeluarga meningkat dengan izin Allah.
Contoh yang kedua: membiasakan untuk mengisi waktu seperti wirausahawan lainnya yang mempunyai kebebasan waktu. Ada yang pesiar, ada yang berkebun, ada yang beternak, ada yang menyalurkan hobi melukis, olahraga dan lainnya. Yang saya pilih adalah berkebun, ya… saya punya hobi baru “bercocok tanam”. Siapa tahu dari hobi ini bisa berkembang ke agro bisnis. Alhamdulillah, kami dikaruniai halaman yang luas di depan, tengah, dan belakang rumah, jadi saya berdayakan halaman itu untuk menanam pohon mangga (sedang berbuah), pisang (sudah merasakan buahnya), pepaya (sudah berbuah), singkong (kalo yang ini malah sudah dua kali menikmatinya), tanaman anti nyamuk (zodia), euphorbia, adenium, dan banyak lagi tanaman. Duh, nikmatnya melihat dan menuai apa yang sudah kita tanam dan lebih nikmat lagi memberikan kepada orang yang lain apa yang sudah kita punya.
Euphorbia yang sedang berbunga.
Yang dulunya takut kotor, sekarang sudah terbiasa main dengan cacing tanah.
Pohon pisang yang baru tumbuh lagi.
Pohon singkong yang baru tumbuh setelah dipanen.
Dulunya pohon singkong karet, sekarang sudah ditanam pohon mangga yang sudah berbuah.
Hikmah yang dapat diambil dari kejadian ini: saya punya variasi dalam ritme kehidupan ini, tidak hanya sekedar “rat race” (yang sudah baca bukunya Kiyosaki pasti tahu istilah rat race ini). Yang penting melatih mental untuk mengerjakan sesuatu yang berarti untuk mengisi waktu agar jika suatu saat nanti mempunyai kebebasan waktu karena sudah berada di quadran investor, tidak kaget (cultural shock).
Wassalam,
Irwin JZ
Notes:
TDA (tangan di atas) : adalah entrepreneur, istilah ini dikenalkan oleh komunitas Tangan Di Atas, yang dikomandani oleh Roni Yuzirman.